(Oleh : Robert Siregar
Wartawan Metro Online.Co)
"Bangsa yang cerdas bukan menyalahkan sana sini tapi mampu bangkit dari puing-puing keterpurukan melangkah menembus imaji fatamorgana senyuman hangat Ibu Pertiwi" – Robert Siregar, 13 Desember 2023
PREAMBUL
Sebelumnya izinkan penulis menyampaikan ucapan selamat Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) bagi kita semua. Hakordia sebagai cerminan komitmen bangsa-bangsa di muka bumi memerangi segala bentuk korupsi yang diperingati setiap tanggal 9 Desember.
'Peran Media / Jurnalis dalam Mensosialisasikan Antikorupsi dan Mencegah Hoax Menjelang Pemilu/Pilpres 2024' yang menjadi tema sentral Lomba Karya Tulis Jurnalistik 2023 diinisiasi Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut), sangat aktual sekaligus menantang.
Disebut aktual, dikarenakan upaya aparat penegak hukum (APH) yakni Polri, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dikemas media massa, baik itu media cetak, elektronik dan online -populer disebut: media mainstream- masih saja menjadi trending topik.
Publik masih disajikan informasi di sana sini ada saja kasus / perkara penyelewengan uang negara melibatkan pejabat negara, Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun kalangan swasta. Dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja / APBD) sejatinya untuk percepatan pembangunan ke depan, justru lagi-lagi mengalami 'kebocoran'.
Ibarat sisi mata uang koin yang harus menggelinding seiring berjalannya waktu. Di satu sisi urat nadi pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) harus senantiasa berdenyut untuk menyelamatkan sejumlah pembangunan strategis dari praktik-praktik korup.
Di sisi lain, bangsa dikenal dengan keheterogenannya ini, sedang menghadapi pesta demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pemilihan Presiden / Wakil Presiden bersamaan dengan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang puncaknya di tanggal 14 Februari.
Perhelatan teramat penting bagi bangsa Indonesia guna memastikan kesinambungan pemimpin yang dihasilkan legitimit. Di mana rakyat sebagai pemangku kedaulatan yang berhak menentukan pilihannya lewat bilik-bilik di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sementara disebut menantang, menurut penulis, menyusul segepok pertanyaan substansial berkecamuk di benak. Apakah semangat pemberantasan tipikor hanya sebatas slogan semata? Pemilu 2024 damai, berkualitas tanpa sentuhan informasi bohong (hoax), tanggung jawab siapa? Dan seterusnya.
TIPIKOR
Ibarat pepatah bijak dulu, 'Tak Kenal Maka tak Sayang'. Berikut selayang pandang perjalanan pemberantasan tipikor dan hiruk pikuk pesta demokrasi di Tanah Air.
Dilansir dari Merdeka.com, April 2023, definisi korupsi menurut kamus Oxford adalah perilaku tidak jujur atau curang yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa, biasanya melibatkan suap.
Korupsi setua sejarah manusia. Dinasti Pertama (3100-2700 SM) Mesir Kuno memasukkan korupsi dalam perundang-undangannya, seperti dikutip dari The Conversation.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pemberantasan korupsi. Mengutip sajian Kompas.Com (edisi 19 Februari 2022) dan aclc.kpk.go.id (10 Mei 2022), perlawanan terhadap korupsi sejak awal kemerdekaan.
Masa Orde Lama kepemimpinan Presiden Soekarno, pemberantasan korupsi secara yuridis ditandai dengan hadirnya Peraturan Penguasa Militer Nomor 6 Tahun 1957 atau PRT/PM/06/1957 tentang Langkah Pemberantasan Korupsi. Fokus menyelidiki politisi yang menghimpun aset mencurigakan dengan memeriksa rekening pribadi mereka. Tentara juga diberi kewenangan untuk menyita aset tersangka korupsi.
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang bertugas mengawasi setiap aktivitas aparatur negara dan melakukan penelitian.
Lembaga kedua bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) didirikan pada Januari 1960 dengan persetujuan Soekarno. Bapekan fokus pada pengawasan dan penelitian aktivitas aparatur negara, sementara Paran pada penindakan korupsi dan kemudian dibubarkan pada Mei 1962.
Pemberantasan korupsi di era Orde Baru tidak jauh berbeda dari Orde Lama. Bahkan, korupsi disebut semakin merajalela dan merata hingga ke semua lini kehidupan dan pemerintahan.
Presiden kala itu, Soeharto, terus dituntut untuk menunjukkan keseriusannya dalam memberantas korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Angin reformasi pun berhembus kencang pada 21 Mei 1998 ditandai dengan lengsernya Soeharto. Digantikan oleh BJ Habibie ketika itu sebagai Wakil Presiden RI ketujuh. Walau hanya setahun dan 5 bulan berkuasa, di masamya lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di awal Era Reformasi
lahir juga Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang membuahkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid kerap disapa Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang diangkat MPR RI sejak 20 Oktober 1999, juga membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Antara lain, Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan lainnya.
Namun seiring dengan hangatnya perkembangan politik di Tanah Air ketika itu, 23 Juli 2001 Gus Dur dilengserkan lewat Panitia Khusus (Pansus) DPR kemudian digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden kelima Republik Indonesia.
Di masa Pemerintahan Megawati lahir UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 1999. Serta UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019.
Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tipikor. KPK memiliki kewenangan melakukan supervisi terhadap kasus-kasus dugaan tipikor di insitusi Polri maupun Kejaksaan.
PEMILU
Bagaimana halnya dengan hiruk pikuk pemilu di Tanah Air? Dikutip dari laman resmi kpu.go.id, wikipedia.org, perpusnas.go.id serta sumber lainnya, Pemilu 1955 merupakan pesta demokrasi pertama. Yakni untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (25 Desember 1955).
Demokrasi Terpimpin bentukan Soekarno pun berakhir dan pada 5 Juli 1959, Presiden pertama RI tersebut mengeluarkan Dekrit Presiden. UUD 1945 dinyatakan sebagai Dasar Negara. Konstituante dan DPR hasil Pemilu pun dibubarkan diganti dengan DPR-GR.
Kabinet diganti dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, MPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) diangkat sebagai pembantu Soekarno dengan jabatan menteri. Puncak kerapuhan politik Indonesia terjadi ketika MPRS (Sementara) menolak Pidato Presiden Soekarno berjudul Nawaksara pada Sidang Umum IV tanggal 22 Juni 1966.
Pascapemerintahan Presiden Soekarno, MPRS menetapkan Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan tanggal 27 Maret 1968 Soeharto ditetapkan menjadi Presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968).
“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” - Gus Dur
Selama 32 tahun Soeharto memimpin bangsa Indonesia dikenal dengan istilah era Orde Baru, telah terjadi enam kali penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II. Pada era ini Presiden dipilih oleh MPR.
Pada Pemilu 1971, Orde Baru mulai meredam persaingan politik dan mengubur pluralisme politik. Hasil Pemilu 1971 menempatkan Golongan Karya (Golkar)sebagai pemenang mayoritas tunggal dengan perolehan suara
62,82 persen, disusul Partai Nahdlatul Ulama (NU) 18,68 persen, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) 6,93 persen dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) 5,36 persen.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan Pemilu 1997 memilih DPR dan DPRD yang menganut sistim proporsional. Hanya diikuti 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di era reformasi, pascamundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, 21 Mei 1998 dan digantikan wakilnya, BJ Habibie. Pemilu 1999 sering disebut sebagai pemilu transisi untuk masuk format politik yang lebih demokratis dengan 48 kontestan politik.
Tetap menganut sistem proporsional, hanya saja penetapan calon terpilih dalam Pemilu kali ini berbeda dengan sebelumnya, yakni dengan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Untuk Presiden dan Wakil Presiden masih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya yaitu dipilih oleh MPR.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur didaulat sebagai Presiden keempat RI dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wapres, 20 Oktober 1999. Mandat Gus Dur sebagai Presiden kemudian dicabut lewat Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001 dan diteruskan oleh Megawati Soekarnoputri.
Pada Pemilu 2004 untuk pertama kalinya calon presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Tidak lagi oleh lembaga MPR. Diawali dengan pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 5 April 2004. Tahapan selanjutnya, 5 Juli 2005 adalah Pilpres yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla. Di Pilpres 2009, SBY kembali menjadi pemenang berpasangan dengan Boediono.
Sedangkan Pemilu 2014, dinamika politik terus berkembang ditandai dengan lahirnya regulasi baru pada pilpres secara langsung ketiga kalinya tersebut. SBY sebagai calon petahana, tidak diizinkan Undang Undang menjadi kontestan.
Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20 persen kursi di DPR atau memenangi 25 persen suara populer, dapat mengajukan kandidatnya. UU tersebut sempat digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) namun ditolak, Januari 2014.
Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla keluar sebagai pemenang sekaligus legitimit sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pemilu 2019, Joko Widodo kembali menjadi pemenang Pilpres berpasangan dengan Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Pilpres dan pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota pertama kalinya digelar bersamaan.
Pemilu 2024 juga bersamaan dilangsungkan pemilihan legislatif yakni anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode 2024-2029.
Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden siap berkompetisi yakni, pasangan Anies-Cak Imin (nomor urut 1), Prabowo-Gibran (nomor urut 2) dan Ganjar-Mahfud (nomor urut 3). Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan tanggal 14 Februari 2024 untuk tahapan pencoblosan oleh pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
PEMBAHASAN
"Ini negeri yang paling banyak melanggar sumpah adalah orang yang kita pilih. Kenapa Indonesia tidak maju? Kenapa Singapura maju? Kenapa Korea Selatan maju? Taiwan maju, Israel maju. Karena ada yang mereka takuti. Indonesia? Tuhan pun gak ditakutinya" - Prof Salim Said
Sebelumnya penulis berasumsi penerapan hukuman maksimal (pidana mati) bagi terdakwa korupsi, otomatis menurunkan kasus / perkara korupsi. Somalia merupakan salah satu negara yang menerapkan pola tersebut. Sepertinya tidak sesederhana itu.
Pada tahun 2020, Somalia melaksanakan sekitar 15 hukuman mati. Namun mengutip Suara.Com (4 Februari 2023), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Somalia atas penilaian Transparency International (TI), merupakan negara paling korup di dunia (peringkat 180 dengan skor 12/100).
Suka atau tidak, kita masih perlu belajar banyak dari negeri jiran, Singapura. 'Negeri Singa' itu sejak 1995 berada di urutan ketiga sebagai negara yang tidak korup.
Menurut penulis, 'rohnya' pemberantasan korupsi adalah pencegahan secara masif terhadap praktik-praktik beraroma korupsi, penindakan dan rehabilitasi (pengembalian) kerugian keuangan / aset negara.
Bisa tidaknya cita-cita luhur itu terwujud tergantung pada kesadaran dan keinginan kuat kita semua. Dimulai dari para pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif di tingkat Pusat dan Daerah serta dikawal armada yang tangguh yakni pers, Non Governmental Organization (NGO) serta pegiat antikorupsi.
Peran pers sebelum dan sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 tidak perlu diragukan. Pers didaulat sebagai Pilar Demokrasi ke-4 yang berperan dan berfungsi sebagai kontrol sosial, membangun demokrasi yang sehat dan kuat, ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, berperan dalam upaya menegakkan supremasi hukum, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kejaksaan Agung RI di bawah kepemimpinan Prof Dr ST Burhanuddin terbilang sangat berani membongkar kasus-kasus besar dengan kerugian keuangan fantastis. Seperti perkara korupsi Base Transceiver Station (BTS) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang merugikan keuangan negara Rp8,32 triliun.
"Perkara yang kita tangani adalah kejahatan kerah putih. Para koruptor berusaha mencari celah dan meloloskan diri dari jerat hukum, memanfaatkan rendahnya integritas aparat penegak hukum" - Jaksa Agung ST Burhanuddin
Perkara korupsi di Duta Palma Grup dengan nilai kerugian mencapai Rp78 triliun, ekspor Crude Palm Oil (CPO) minyak goreng menyangkut hajat hidup orang banyak dan masih banyak lainnya yang melibatkan pejabat negara seperti menteri, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggota DPR hingga pejabat kementerian.
Jaksa Agung juga pernah memerintahkan seluruh kepala kejaksaan, selain media sosial Kejaksaan, juga memanfaatkan peran media pemberitaan untuk melaporkan hasil kerja kepada masyarakat. Media dan pemberitaan adalah salah satu cara untuk menunjukkan peran dan kehadiran jaksa di masyarakat.
Bagaimana pula dengan kondisi di provinsi yang dikenal dengan keheterogenannya ini? Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut di bawah kepemimpinan Idianto dan jajaran tersebar di 28 Kejaksaan Negeri (Kejari) dan 9 Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari), masih terus berjibaku dalam pemberantasan korupsi.
Data yang dihimpun dari hasil penelusuran riwayat perkara secara online (SIPP) Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Medan, sebanyak 105 perkara tipikor dilimpahkan Kejati Sumut dan jajaran ke Pengadilan Tipikor Medan periode tahun 2022.
Sementara hingga 9 Desember 2023 bertepatan dengan peringatan Hakordia, sebanyak 145 terdakwa diadili di Pengadilan Tipikor Medan. Artinya mengalami peningkatan nyaris 50 persen.
"Praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama memburuknya perekonomian suatu bangsa dan penghalang upaya mengurangi kemiskinan dan pembangunan" - Kofi Annan
Menurut Juru Bicara Kejati Sumut Yos A Tarigan, Januari hingga pekan kedua Desember ini sebanyak 131 perkara dugaan korupsi ditingkatkan ke tahapan penyidikan (dik), 194 perkara tahap penuntutan dan 142 lainnya sudah dieksekusi berikut pemulihan atau uang pengganti (UP) kerugian keuangan negara mencapai Rp36.079.686.091.
Para terdakwanya masih berkutat pada penyalahgunaan dana pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, Ruang Praktik Siswa (RPS), para kepala desa (kades) yang gak mampu mempertanggung jawabkan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan lainnya.
MASUKAN
Ibarat dua kutub magnet yang saling bertolak belakang. Semakin tinggi angka perkara penindakan hukum sekaligus mengisyaratkan masih maraknya bola api penyalahgunaan uang negara.
Kajati Idianto melalui Bidang Intelijen (Intel) cq Penerangan Hukum beserta jajaran di Kejari dan Cabjari secara kontinu dan humanis lewat program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) maupun Jaksa Masuk Desa (JMD) melakukan kampanye pencegahan antikorupsi diawali dengan sikap jujur dan pola hidup sederhana di tengah-tengah keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terinspirasi dengan inovasi brilian yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lewat pendekatan humanis, mantan terpidana teroris Ali Imron, salah seorang pelaku Bom Bali I, pada 12 Oktober 2002 yang merenggut nyawa 202 orang dan ratusan korban luka, diberikan panggung seluas-luasnya berkampanye pencegahan tumbuhnya sel-sel radikal atau deradikalisasi.
Sebagai jurnalis unit hukum, dengan segala kerendahan hati, izinkan penulis memberikan masukan. Seandainya Kejati Sumut bisa sebagai pioner dalam pencegahan korupsi dengan menghadirkan narasumber terpidana tipikor atau keluarganya memberikan kesaksian, ketika tim kejaksaan menggelar program JMS atau JMD.
Bagaimana kisah miris menimpa salah seorang kades di Sumut saat bersidang di Pengadilan Tipikor Medan dengan kedua bola mata 'berkaca-kaca' mengaku ditinggalkan istrinya karena terlalu lama di balik terali besi.
Demikian juga dengan penuturan salah seorang penasihat hukum tersangka korupsi. Akibat maraknya pemberitaan di media massa, anak gadis kliennya malu masuk kuliah karena ayahnya mendapat predikat tersangka koruptor.
Demikian halnya mengenai peran media/jurnalis dalam meminimalisir penyebaran hoax selama perhelatan Pemilu 2024, tidak perlu diragukan. Pesta demokrasi yang damai dan berkualitas adalah tanggung jawab kita semua. Walaupun suasana kebatinannya tidak sepanas Pemilu 2019 lalu.
Netizen media sosial di antara kedua paslon presiden yakni kubu 'Cebong' versus 'Kampret' dengan latar belakang pendidikan, pengetahuan dan seterusnya saling baku ejek.
Insan mainstream yang berbadan hukum, wajib memberikan informasi faktual dari sumber yang kapabel sekaligus menangkal nakalnya jemari netizen, sebagaimana diamanatkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dengan catatan kaki, penyelenggara maupun peserta pemilu harus konsisten meluangkan waktu memberikan pendidikan politik bagi publik, termasuk mengeleminir praktik politik uang.
Harapan penulis, penyelenggara pemilu juga jangan pernah lelah merangkul seluruh stakeholder seperti Dinas Kominfo dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang memiliki peralatan canggih (siber) mengakses konten-konten terindikasi hoaks, ujaran kebencian dan seterusnya.
PENUTUP
Mari bergandengan tangan mengisi ruang dan waktu menuju cita-cita luhur Indonesia Emas tahun 2045 mendatang. Era generasi muda Indonesia berkualitas dan berkompeten berdiri tegak dengan daya saing tinggi.
Tulisan ini juga penulis dedikasikan kepada kita semua, para kawula muda dan terkhusus buat si buah hatiku, Karina Gloria Siregar yang masih duduk di Kelas 6 di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Medan. Dia dan teman-teman sebaya serta juniornya yang akan meneruskan semangat pemberantasan tipikor di Bumi Pertiwi tercinta ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna. Penulis juga dengan sepuluh jari di bawah dagu, memohon maaf bila ada cara penyampain tulisan ini kurang berkenan. Terima kasih kepada Sang Alpa dan Omega. Terima kasih juga buat panitia Karya Tulis Jurnalistik 2023 yang diinisiasi Kejati Sumut, tim penguji dan lainnya. #AYO CEGAH KORUPSI!!